“La yaruddu al qadaara illa ad-du’a wa la yazidu fi
al-‘umril illa al-birru”
Tidak ada yang bisa menolak qadar kecuali doa dan tidak ada
yang bisa menambah umur kecuali kebaikan. (HR Ahmad no. 22386, 22413, 22438;
Ibnu Majah no. 90, 4022; Ibnu Hibban no. 872; al-hakim no. 1814; ath-Thabarani
di Mu’jam al-Kabir no. 1442; al-Baihaqi di Syu’ab al-Iman no. 9752, Ibnu Aby
Syaibah no. 29867).
Hadits ini diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Abiy
al-Ja’di dari Tsawban ra. Al-Hakim di dalam al-Mustadrak berkata: “ini adalah
hadits yang shahih sanadnya meski keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak
mengeluarkannya.”
Sementara itu, ada nas-nas qath’iy dan hadits-hadits shahih
yang menyatakan bahwa qadar atau qadha’ itu pasti terjadi, artinya tidak bisa
ditolak. Allah SWT berfirman: “wa kana amrullahi qadran maqduran – Dan adalah
ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (TQS al-Ahzab
[33]:38).
Makna “qadran” di sini yakni perkara yang telah berlangsung
penetapannya sejak azali. Dan makna “maqduran” yakni pasti terjadi. Jadi qadran
maqduran yakni keputusan yang pasti, yakni pasti terjadinya.
Allah SWT juga menyatakan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an bahwa
ajal suatu umat tidak bisa dimajukan atau dimundurkan (lihat QS al-A’raf
[7]:34; Yunus [10]:49; al-Hijr [15]:5; an-Nahl [16]:61; al-Mu’minun [23]:43).
Jadi di sini tampak adanya syubhat kontradiksi antara hadits
di atas dengan ayat-ayat dan hadits yang menyatakan bahwa qadha’ atau qadar
pasti terjadi, artinya tidak bisa ditolak; dan yang menyatakan bahwa ajal tidak
bisa dimajukan atau dimundurkan yang artinya umur tidak bisa ditambah atau
dikurangi.
Jika ada dalil qath’iy atas suatu masalah yang memberikan
hukum tertentu dan ada dalil zhanniy yang sanadnya shahih atas masalah yang
sama yang memberi hukum lain yang di dalamnya terdapat syubhat kontradiksi
dengan dalil qath’iy, maka dalam kondisi ini dilakukan al-jam’u bayna
ad-dalilayn (mempertemukan atau mengkompromikan di antara dua dalil), sebab
mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya (i’malu
ad-dalilayn awa min ihmali ahadihima).
Jika tidak mungkin dipertemukan atau dimpromikan maka
diambil dalil yang qath’iy dan dalil zhannly ditolak secara dirayah sebab
sanadnya adalah shaih. Adapun andai sanadnya dhaif maka ditolak karena
ke-dhaif-annya itu.
Al-jam’u mungkin dilakukan di sini. Makna lafal itu ada
secara hakikat dan secara majaz. Di dalam ushuf, jika hakikat terhalang karena
adanya indikasi yang menghalangi makna hakiki, dan di sini adalah dalil-dalil
qath’iy tentang al-qadar yang telah disebutkan di atas, maka digunakan makna
majaz dan hadits tersebut dipahami menggunakan makna majaz jika hal itu mungkin
menurut Bahasa, dan ini mungkin di sini.
Kata al-qadar atau al-qadha’ di dalam hadits tersebut secara
majaz maknanya bisa dipahami, “apa yang menjadi akibatnya atau dampaknya.”
Dengan ungkapan lain, apa yang disebabkannya melalui hubungan sebab-akibat.
Jadi disebutkan sebab padahal yang dimaksud adalah akibat (dzikru as-sabab wa
yuradu bihi al-musabab).
Di sini disebutkan al-qadar, padahal yang dimaksud adalah
makna majazinya yakni dampaknya atau apa yang dihasilkannya. Pada saatnya,
penolakan itu bukan untuk al-qadar atau al-qadha’, melainkan untuk dampaknya.
Seorang Mukmin jika terjadi padanya suatu qadar atau qadha’, misalnya sakit,
kehilangan anak, hilang harta, rugi perdagangan,…..dsb, maka doa bisa menolak
dampak hal itu terhadapnya.
Seorang Mukmin jika berdoa kepada Allah SWT dan memperbanyak
doa agar Allah menghalangi keburukan al-qadha’ maka Allah meringankan darinya
dampak al-qadha’ itu dan membantunya untuk menanggungnya dan bersabar atasnya,
dan berikutnya hidupnya menjadi baik meski terjadi al-qadha’ terhadapnya.
Yakni, Allah meringankan al-qadha’ terhadapnya dan meringankan kejadiannya
seolah-olah doanya secara majazi telah menolak al-qadha’ itu, yakni Allah SWT
membantunya untuk menanggungnya dan bersabar atasnya.
Imam Ibnu Hibban (w. 354 H) di Shaih Ibni Hibban dan imam
Abu Muhammad al-Husain al-Baghawly asy-Syafi’iy (w. 516 H) di dalam Syarhu
as-Sunnah menyatakan: “Abu Hatim as-Sijistani menyebutkan, bahwa kontinunya
seseorang berdoa membuat baik baginya terjadinya al-qadha’, jadi seolah-olah
doa menolaknya karena minimnya dia merasakan deritanya dan kebaikan membuat
baik hidupnya sehingga seolah-olah ditambah umurnya dengan baiknya
kehidupannya,” Wallah a’lam bi ash-shawab.
Source:
Penulis: Yahya
Penerbit: Media Umat, Edisi 256, 23 Rabiul Akhir – 2 Jumadil
Awal 1441 H/ 20 Desember 2019 – 2 Januari 2020, hal 30
0 komentar:
Posting Komentar