Senin, 02 Maret 2020

Doa Menolak Qadha’

PropellerAds

“La yaruddu al qadaara illa ad-du’a wa la yazidu fi al-‘umril illa al-birru”
Tidak ada yang bisa menolak qadar kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali kebaikan. (HR Ahmad no. 22386, 22413, 22438; Ibnu Majah no. 90, 4022; Ibnu Hibban no. 872; al-hakim no. 1814; ath-Thabarani di Mu’jam al-Kabir no. 1442; al-Baihaqi di Syu’ab al-Iman no. 9752, Ibnu Aby Syaibah no. 29867).

Hadits ini diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Abiy al-Ja’di dari Tsawban ra. Al-Hakim di dalam al-Mustadrak berkata: “ini adalah hadits yang shahih sanadnya meski keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.”

Sementara itu, ada nas-nas qath’iy dan hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa qadar atau qadha’ itu pasti terjadi, artinya tidak bisa ditolak. Allah SWT berfirman: “wa kana amrullahi qadran maqduran – Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (TQS al-Ahzab [33]:38).

Makna “qadran” di sini yakni perkara yang telah berlangsung penetapannya sejak azali. Dan makna “maqduran” yakni pasti terjadi. Jadi qadran maqduran yakni keputusan yang pasti, yakni pasti terjadinya.

Allah SWT juga menyatakan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an bahwa ajal suatu umat tidak bisa dimajukan atau dimundurkan (lihat QS al-A’raf [7]:34; Yunus [10]:49; al-Hijr [15]:5; an-Nahl [16]:61; al-Mu’minun [23]:43).

Jadi di sini tampak adanya syubhat kontradiksi antara hadits di atas dengan ayat-ayat dan hadits yang menyatakan bahwa qadha’ atau qadar pasti terjadi, artinya tidak bisa ditolak; dan yang menyatakan bahwa ajal tidak bisa dimajukan atau dimundurkan yang artinya umur tidak bisa ditambah atau dikurangi.

Jika ada dalil qath’iy atas suatu masalah yang memberikan hukum tertentu dan ada dalil zhanniy yang sanadnya shahih atas masalah yang sama yang memberi hukum lain yang di dalamnya terdapat syubhat kontradiksi dengan dalil qath’iy, maka dalam kondisi ini dilakukan al-jam’u bayna ad-dalilayn (mempertemukan atau mengkompromikan di antara dua dalil), sebab mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya (i’malu ad-dalilayn awa min ihmali ahadihima).

Jika tidak mungkin dipertemukan atau dimpromikan maka diambil dalil yang qath’iy dan dalil zhannly ditolak secara dirayah sebab sanadnya adalah shaih. Adapun andai sanadnya dhaif maka ditolak karena ke-dhaif-annya itu.

Al-jam’u mungkin dilakukan di sini. Makna lafal itu ada secara hakikat dan secara majaz. Di dalam ushuf, jika hakikat terhalang karena adanya indikasi yang menghalangi makna hakiki, dan di sini adalah dalil-dalil qath’iy tentang al-qadar yang telah disebutkan di atas, maka digunakan makna majaz dan hadits tersebut dipahami menggunakan makna majaz jika hal itu mungkin menurut Bahasa, dan ini mungkin di sini.

Kata al-qadar atau al-qadha’ di dalam hadits tersebut secara majaz maknanya bisa dipahami, “apa yang menjadi akibatnya atau dampaknya.” Dengan ungkapan lain, apa yang disebabkannya melalui hubungan sebab-akibat. Jadi disebutkan sebab padahal yang dimaksud adalah akibat (dzikru as-sabab wa yuradu bihi al-musabab).

Di sini disebutkan al-qadar, padahal yang dimaksud adalah makna majazinya yakni dampaknya atau apa yang dihasilkannya. Pada saatnya, penolakan itu bukan untuk al-qadar atau al-qadha’, melainkan untuk dampaknya. Seorang Mukmin jika terjadi padanya suatu qadar atau qadha’, misalnya sakit, kehilangan anak, hilang harta, rugi perdagangan,…..dsb, maka doa bisa menolak dampak hal itu terhadapnya.

Seorang Mukmin jika berdoa kepada Allah SWT dan memperbanyak doa agar Allah menghalangi keburukan al-qadha’ maka Allah meringankan darinya dampak al-qadha’ itu dan membantunya untuk menanggungnya dan bersabar atasnya, dan berikutnya hidupnya menjadi baik meski terjadi al-qadha’ terhadapnya. Yakni, Allah meringankan al-qadha’ terhadapnya dan meringankan kejadiannya seolah-olah doanya secara majazi telah menolak al-qadha’ itu, yakni Allah SWT membantunya untuk menanggungnya dan bersabar atasnya.

Imam Ibnu Hibban (w. 354 H) di Shaih Ibni Hibban dan imam Abu Muhammad al-Husain al-Baghawly asy-Syafi’iy (w. 516 H) di dalam Syarhu as-Sunnah menyatakan: “Abu Hatim as-Sijistani menyebutkan, bahwa kontinunya seseorang berdoa membuat baik baginya terjadinya al-qadha’, jadi seolah-olah doa menolaknya karena minimnya dia merasakan deritanya dan kebaikan membuat baik hidupnya sehingga seolah-olah ditambah umurnya dengan baiknya kehidupannya,” Wallah a’lam bi ash-shawab.


Source:
Penulis: Yahya
Penerbit: Media Umat, Edisi 256, 23 Rabiul Akhir – 2 Jumadil Awal 1441 H/ 20 Desember 2019 – 2 Januari 2020, hal 30


0 komentar:

Posting Komentar