Penjajah di dunia ini selalu membawa kesengsaraan dan
penindasan terhadap daerah yang dijajah. Masyarakat pribumi akan dieksploitasi
tenaganya dan sumber daya alam di tanah tempat berpihaknya akan dikuras habis.
Setelah semuanya hancur barulah kemudian penjajah mencuci tangannya dengan memberikan
“kemerdekaan” atau sekadar “otonomi khusus” kepada wilayah tersebut.
Namun dalam perjalanan sejarah, penjajah selalu menghadapi
masalah besar ketika berhadapan dengan wilayah-wilayah yang berpenduduk Muslim.
Mereka akan mendapatkan perlawanan sengit dari masyarakat pribumi bukan hanya
karena ketenangan hidupnya diganggu, namun lebih karena sebuah panggilan suci
dari Allah untuk berjihad mempertahankan negerinya dari penjajah.
Penjajah di Amerika Selatan dan Amerika Tengah yang
dilakukan Barat bisa dibilang mulus. Mereka melakukan pembantaian besar-besaran
terhadap orang Inca, Astec dan juga Indian. Suku-suku tersebut dibantai dengan
bengis oleh para penjajah seolah-olah mereka bukanlah ras manusia.
Di Australia, Inggris dengan pongah juga melakukan pembantaian
besar-besaran terhadap suku pribumi yaitu suku Aborigin. Di Afrika Selatan,
penjajah juga menghilangkan dominasi suku asli yaitu orang-orang negro Afrika
yang dipaksa tunduk dalam perbudakan kejam dan mematikan.
Suku-suku tersebut juga tak sanggup menghadapi penjajah
bukan karena mereka tidak memiliki senjata. Namun lebih karena tidak memiliki
spirit yang cukup untuk melawan penjajah. Spirit seperti itulah yang justru
dimiliki oleh kaum Muslimin. Walau tanpa persenjataan yang memadai namun kebulatan
tekad dan semangat kaum Muslimin untuk melawan menjadikan penjajah kewalahan
dalam menghadapinya.
Meredam Perlawanan
Maka wajar dengan segala cara dilakukan oleh Barat untuk
meredam segala bentuk perlawanan pribumi. Sebagai contoh apa yang dilakukan
oleh Cristian Snouck Hurgronje, seorang antropologi Belanda, ahli orientalis,
fasih berbahasa Arab dan sangat berwawasan tentang Islam dengan segala seluk
beluknya.
Snouck mengelompokkan Islam dalam tiga aspek: (1) ibadah;
(2) sosial masyarakat dan (3) Islam politik. Musuh kolonialisme menurut Snouck
Hurgronje adalah Islam politik. Karena pemahaman Islam politik inilah yang
mampu menggerakkan masyarakat untuk melawan penjajah dengan sebuah predikat
jihad fi sabilillah.
Bahkan untuk mengelabui masyarakat Aceh (tempat Snouck
bertugas) Belanda direkomendasikan untuk membangun masjid, langgar dan surau
dalam jumlah yang cukup masif. Namun di sisi lain Belanda tetap terus melakukan
tekanan kepada golongan ulama terutama yang berpaham Islam politik. Ditambah dengan
tindakan tegas tanpa kompromi terhadap setiap perlawanan.
Strategi ini cukup jitu membelah masyarakat yang pada
awalnya bersatu menjadi berbeda pandangan, sehingga banyak rakyat kecil yang
merasa sudah cukup “difasilitasi” oleh Belanda sehingga tidak perlu lagi
melakukan perlawanan. Inilah strategi devide et empera dengan politik belah
bambunya.
Di bidang pendidikan, Snouck merekomendasikan menggeser
posisi pondok pesantren atau pendidikan keislaman yang berkembang pesat pada
saat itu dengan pendidikan ala Barat. Terlebih politik etis (balas budi) yang
dicanangkan Belanda memang sejalan dengan temuan Snouck.
Pendidikan keislaman di pesantren disadari atau pun tidak,
menjadi semacam kawah candradimuka bagi para calon ulama dan cendekiawan. Hal
inilah yang sangat ditakuti oleh Belanda karena secara umum setiap perlawanan
selalu dimotori oleh ulama maupun cendekiawan. Untuk menggeser posisi pesantren
tersebut. Belanda membuat Sekolah Rakyat (SR).
Pada masa awal, SR tidak mendapat sambutan yang antusias dari
rakyat. Karena posisi pendidikan keislaman pesantren sangat mengakar kuat di
masyarakat Nusantara pada waktu itu. Maka dibuatkanlah “ijazah” bagi
orang-orang yang telah berhasil dalam belajar di sekolah-sekolah Belanda.
Dengan ijazah tersebut masyarakat diiming-imingi bisa mudah mencari pekerjaan
dan penghidupan yang lebih baik.
Kiblat Pendidikan Berpindah
Lambat namun pasti, kiblat pendidikan masyarakat Nusantara
tergantikan dari pesantren, langgar, surau dan masjid menjadi sekolah resmi
Belanda. Di sanalah terjadi injeksi pemikiran dan cara hidup serta cara
mengurus negara ala Barat diajarkan: nasionalisme, demokrasi, hak asasi
manusia, pruralisme dan lain sebagainya.
Memang dari sekian ilmu tersebut pada akhirnya mampu
menyadarkan mayoritas masyarakat Nusantara untuk bersatu dan berlepas diri dari
penjajahan Belanda, namun para cerdik pandai hasil didikannya tak mampu lepas
dari cara pandang Barat dalam mengelola sebuah negara.
Jikalau dilihat dari permukaan keduanya, nasionalisme dan
islam politik seperti memiliki misi yang sama, yaitu mengusir penjajah dari
Nusantara. Namun akar dan latar belakang perlawanan mereka sangatlah berbeda
secara filosofis ideologis. Maka menjadi wajar juga apabila tokoh-tokoh bangsa
di masa perjuangan kemerdekaan bisa melebur antara kelompok islam dan
nasionalisme.
Dihapus dari Kurikulum
Sudah dapat dipastikan Belanda sangat benci dengan kata-kata
“jihad”, “ukhuwah” dan kepemimpinan kaum Muslimin yaitu “khilafah”. Karena
dengan khilafah, ukhuwah akan terwujud dan jihad lebih terarah.
Disadari atau pun tidak, pemahaman Islam politik seperti
inilah yang telah membangkitkan sekian perlawanan dari rakyat semesta. Perang
Aceh, Perang Padri, Perang Jawa dan lain sebagainya. Semua dipimpin oleh ulama
yang berpaham islam politik.
Maka menjauhkan masyarakat dengan pemahaman Islam politik
adalah satu-satunya cara melanggengkan penjajahan. Caranya tentu saja dengan
menghilangkan pembahasannya dalam kurikulum pendidikan ala Barat.
Jadi jihadlah yang selama ini ditakuti oleh penjajah
termasuk Belanda, persatuan dan kesatuan (ukhuwah) Islam dalam bingkai
khilafahlah yang membuat Belanda tak bernyali. Lantas, mengapa setelah Belanda
pergi kita justru mulai mempersalahkannya? Ada apa dengan bangsa ini?
Ular kobra itu adalah jenis ular yang sangat ditakuti oleh
manusia maupun binatang. Ditakuti karena dia memiliki bisa yang sangat
mematikan yang disuntikan melalui kedua taringnya yang tajam. Lantas bagaimana
jadinya jika ular kobra tersebut dicopot taring tajamnya? Memang benar dia tetap
memiliki bisa, namun dia tidak memiliki instrument untuk menyuntikkan bisa
kepada lawannya. Hasilnya tentu siapa pun orang atau hewan yang tahu kalau dia
tidak punya taring, dia akan sangat berani melawan kobra tersebut jika pada
masanya tiba.
Taring-taring tajam ular itulah perumpamaan khilafah dan
jihad. Jika orang tidak tahu bisa jadi akan tetap takut dengan kaum Muslimin.
Namun apa jadinya jika semua tahu termasuk musuh-musuh kita. Mereka tahu kita
tak punya insfrastruktur untuk melawan secara mematikan. Karena masyarakat
sudah “jauh” dari kata “khilafah” dan “jihad”. Siapa yang rugi?
Sadarlah wahai bangsa Indonesia. Kita telah kehilangan
khilafah, jangan lagi ditambah dengan kehilangan jihad. Negeri ini merdeka
salah satunya karena jihadnya para syuhada di seluruh penjuru tanah air. Lantas
atas alasan apa kita menghapus materi khilafah dan jihad dalam kehidupan anak
didik kita? Tidakkah kita ngeri dengan sesuatu yang mengancam di luar sana?
Sadarlah sebelum semuanya berkata “terlambat”.
Source:
Media Umat, Edisi 256, 23 Rabiul Akhir – 2 Jumadil
Awal 1441 H/ 20 Desember 2019 – 2 Januari 2020, hal 22
0 komentar:
Posting Komentar