Selasa, 03 Maret 2020

Begini Cara Belanda Meredam Semangat Jihad

PropellerAds

Penjajah di dunia ini selalu membawa kesengsaraan dan penindasan terhadap daerah yang dijajah. Masyarakat pribumi akan dieksploitasi tenaganya dan sumber daya alam di tanah tempat berpihaknya akan dikuras habis. Setelah semuanya hancur barulah kemudian penjajah mencuci tangannya dengan memberikan “kemerdekaan” atau sekadar “otonomi khusus” kepada wilayah tersebut.

Namun dalam perjalanan sejarah, penjajah selalu menghadapi masalah besar ketika berhadapan dengan wilayah-wilayah yang berpenduduk Muslim. Mereka akan mendapatkan perlawanan sengit dari masyarakat pribumi bukan hanya karena ketenangan hidupnya diganggu, namun lebih karena sebuah panggilan suci dari Allah untuk berjihad mempertahankan negerinya dari penjajah.

Penjajah di Amerika Selatan dan Amerika Tengah yang dilakukan Barat bisa dibilang mulus. Mereka melakukan pembantaian besar-besaran terhadap orang Inca, Astec dan juga Indian. Suku-suku tersebut dibantai dengan bengis oleh para penjajah seolah-olah mereka bukanlah ras manusia.

Di Australia, Inggris dengan pongah juga melakukan pembantaian besar-besaran terhadap suku pribumi yaitu suku Aborigin. Di Afrika Selatan, penjajah juga menghilangkan dominasi suku asli yaitu orang-orang negro Afrika yang dipaksa tunduk dalam perbudakan kejam dan mematikan.

Suku-suku tersebut juga tak sanggup menghadapi penjajah bukan karena mereka tidak memiliki senjata. Namun lebih karena tidak memiliki spirit yang cukup untuk melawan penjajah. Spirit seperti itulah yang justru dimiliki oleh kaum Muslimin. Walau tanpa persenjataan yang memadai namun kebulatan tekad dan semangat kaum Muslimin untuk melawan menjadikan penjajah kewalahan dalam menghadapinya.

Meredam Perlawanan
Maka wajar dengan segala cara dilakukan oleh Barat untuk meredam segala bentuk perlawanan pribumi. Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh Cristian Snouck Hurgronje, seorang antropologi Belanda, ahli orientalis, fasih berbahasa Arab dan sangat berwawasan tentang Islam dengan segala seluk beluknya.

Snouck mengelompokkan Islam dalam tiga aspek: (1) ibadah; (2) sosial masyarakat dan (3) Islam politik. Musuh kolonialisme menurut Snouck Hurgronje adalah Islam politik. Karena pemahaman Islam politik inilah yang mampu menggerakkan masyarakat untuk melawan penjajah dengan sebuah predikat jihad fi sabilillah.

Bahkan untuk mengelabui masyarakat Aceh (tempat Snouck bertugas) Belanda direkomendasikan untuk membangun masjid, langgar dan surau dalam jumlah yang cukup masif. Namun di sisi lain Belanda tetap terus melakukan tekanan kepada golongan ulama terutama yang berpaham Islam politik. Ditambah dengan tindakan tegas tanpa kompromi terhadap setiap perlawanan.

Strategi ini cukup jitu membelah masyarakat yang pada awalnya bersatu menjadi berbeda pandangan, sehingga banyak rakyat kecil yang merasa sudah cukup “difasilitasi” oleh Belanda sehingga tidak perlu lagi melakukan perlawanan. Inilah strategi devide et empera dengan politik belah bambunya.

Di bidang pendidikan, Snouck merekomendasikan menggeser posisi pondok pesantren atau pendidikan keislaman yang berkembang pesat pada saat itu dengan pendidikan ala Barat. Terlebih politik etis (balas budi) yang dicanangkan Belanda memang sejalan dengan temuan Snouck.

Pendidikan keislaman di pesantren disadari atau pun tidak, menjadi semacam kawah candradimuka bagi para calon ulama dan cendekiawan. Hal inilah yang sangat ditakuti oleh Belanda karena secara umum setiap perlawanan selalu dimotori oleh ulama maupun cendekiawan. Untuk menggeser posisi pesantren tersebut. Belanda membuat Sekolah Rakyat (SR).

Pada masa awal, SR tidak mendapat sambutan yang antusias dari rakyat. Karena posisi pendidikan keislaman pesantren sangat mengakar kuat di masyarakat Nusantara pada waktu itu. Maka dibuatkanlah “ijazah” bagi orang-orang yang telah berhasil dalam belajar di sekolah-sekolah Belanda. Dengan ijazah tersebut masyarakat diiming-imingi bisa mudah mencari pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik.

Kiblat Pendidikan Berpindah
Lambat namun pasti, kiblat pendidikan masyarakat Nusantara tergantikan dari pesantren, langgar, surau dan masjid menjadi sekolah resmi Belanda. Di sanalah terjadi injeksi pemikiran dan cara hidup serta cara mengurus negara ala Barat diajarkan: nasionalisme, demokrasi, hak asasi manusia, pruralisme dan lain sebagainya.

Memang dari sekian ilmu tersebut pada akhirnya mampu menyadarkan mayoritas masyarakat Nusantara untuk bersatu dan berlepas diri dari penjajahan Belanda, namun para cerdik pandai hasil didikannya tak mampu lepas dari cara pandang Barat dalam mengelola sebuah negara.

Jikalau dilihat dari permukaan keduanya, nasionalisme dan islam politik seperti memiliki misi yang sama, yaitu mengusir penjajah dari Nusantara. Namun akar dan latar belakang perlawanan mereka sangatlah berbeda secara filosofis ideologis. Maka menjadi wajar juga apabila tokoh-tokoh bangsa di masa perjuangan kemerdekaan bisa melebur antara kelompok islam dan nasionalisme.

Dihapus dari Kurikulum
Sudah dapat dipastikan Belanda sangat benci dengan kata-kata “jihad”, “ukhuwah” dan kepemimpinan kaum Muslimin yaitu “khilafah”. Karena dengan khilafah, ukhuwah akan terwujud dan jihad lebih terarah.

Disadari atau pun tidak, pemahaman Islam politik seperti inilah yang telah membangkitkan sekian perlawanan dari rakyat semesta. Perang Aceh, Perang Padri, Perang Jawa dan lain sebagainya. Semua dipimpin oleh ulama yang berpaham islam politik.

Maka menjauhkan masyarakat dengan pemahaman Islam politik adalah satu-satunya cara melanggengkan penjajahan. Caranya tentu saja dengan menghilangkan pembahasannya dalam kurikulum pendidikan ala Barat.

Jadi jihadlah yang selama ini ditakuti oleh penjajah termasuk Belanda, persatuan dan kesatuan (ukhuwah) Islam dalam bingkai khilafahlah yang membuat Belanda tak bernyali. Lantas, mengapa setelah Belanda pergi kita justru mulai mempersalahkannya? Ada apa dengan bangsa ini?

Ular kobra itu adalah jenis ular yang sangat ditakuti oleh manusia maupun binatang. Ditakuti karena dia memiliki bisa yang sangat mematikan yang disuntikan melalui kedua taringnya yang tajam. Lantas bagaimana jadinya jika ular kobra tersebut dicopot taring tajamnya? Memang benar dia tetap memiliki bisa, namun dia tidak memiliki instrument untuk menyuntikkan bisa kepada lawannya. Hasilnya tentu siapa pun orang atau hewan yang tahu kalau dia tidak punya taring, dia akan sangat berani melawan kobra tersebut jika pada masanya tiba.

Taring-taring tajam ular itulah perumpamaan khilafah dan jihad. Jika orang tidak tahu bisa jadi akan tetap takut dengan kaum Muslimin. Namun apa jadinya jika semua tahu termasuk musuh-musuh kita. Mereka tahu kita tak punya insfrastruktur untuk melawan secara mematikan. Karena masyarakat sudah “jauh” dari kata “khilafah” dan “jihad”. Siapa yang rugi?

Sadarlah wahai bangsa Indonesia. Kita telah kehilangan khilafah, jangan lagi ditambah dengan kehilangan jihad. Negeri ini merdeka salah satunya karena jihadnya para syuhada di seluruh penjuru tanah air. Lantas atas alasan apa kita menghapus materi khilafah dan jihad dalam kehidupan anak didik kita? Tidakkah kita ngeri dengan sesuatu yang mengancam di luar sana? Sadarlah sebelum semuanya berkata “terlambat”.

Source:
Media Umat, Edisi 256, 23 Rabiul Akhir – 2 Jumadil Awal 1441 H/ 20 Desember 2019 – 2 Januari 2020, hal 22

0 komentar:

Posting Komentar