Senin, 09 Maret 2020

Adab Menyerap Ilmu di Majelis Taklim


Majelis Taklim (MT) ibu-ibu, telah menjadi bagian dari nafas kehidupan umat Islam di Indonesia. Disana tumbuh dan berkembang forum pembelajaran berbagai jenis tsaqafah.

Bukan hanya itu, MT menjadi wadah silaturahmi warga hingga tokoh Muslimah. Para mutiara umat ini memiliki kontribusi nyata bagi kaumnya. Menjaga sesi spiritual masyarakat.



Nah, berikut ini kita mengingatkan kembali tentang adab-adab mencari ilmu. Penting, agar MT sebagai tempat belajar umat, khususnya para perempuan, kian berkualitas.

Sebab, sudah jadi rahasia umum. Terkadang, MT berkembang menjadi wadah yang jumud tanpa membawa gerbong keberhasilan. Nah, mungkin di antaranya karena belum ada kepatuhan dalam menegakkan adab-adab di majelis ilmu. Berikut di antaranya:

1. Mengucapkan salam
Ketika memasuki majelis ilmu, hendaknya mengucapkan salam. Sabda Rasullulah SAW, “bilamana kalian telah sampai pada sebuah majelis, hendaklah mengucapkan salam, dan apabila ingin duduk maka duduklah, kemudian apabila ingin pergi maka ucapkanlah salam, sebab bukankah yang pertama itu lebih baik daripada yang terakhir” (HR At Tirmidzi no 2706).

2. Kosongkan “gelas”
Artinya, ketika menghadiri majelis ilmu, harus bersikap sebagai pembelajar yang siap diajar. Ibarat gelas yang siap diisi. Bukan merasa sok pintar daripada sang guru. Jika guru menyampaikan hal yang kita sudah tahu, bersabarlah. Jangan menggerutu.

3. Datang tepat waktu
Jangan biarkan guru yang menunggu, tapi jamaah yang harus hadir dahulu. Terlambat hadir, membuat fokus belajar terganggu. Akhirnya ilmu tidak terserap maksimal, bahkan bisa gagal paham.

4, Tidak menggusur tempat duduk jamaah
Jamaah yang datang lebih awal, berhak atas tempat ia duduk. Tidak patut digusur. Ini mengajarkan bahwa sejatinya manusia itu sederajat di sisi Allah SWT.

Dahulu, para sahabat berlomba-lomba untuk menjadi yang terdekat dengan posisi duduk Rasul. Sahabat yang telat, memaksa menggeser-geser jamaah lain. Ini tidak sopan. Hingga turunlah ayat Al-Mujadalah ayat 11.

Namun, ini bukan hal mutlak. Jika kondisi jamaah perlu diatur, silahkan ditertibkan dengan menggeser posisinya secara bersama-sama. Lebih mulia lagi, jika jamaah tahu diri, dengan sukarela bergeser sendiri.

Rasullulah SAW bersabda, “Melarang seseorang membangunkan orang lain yang sedang duduk (dari tempatnya semula) kemudian dia duduk padanya, akan tetapi bergeserlah dan berlapanglah,” (HR Bukhari).

5. Dilarang duduk di tengah, memisahkan antara dua orang tanpa izin
Misalnya duduk di antara dua jamaah yang keduanya saling kenal, dan kita tidak mengenal mereka. Hingga jika kita berada di antara mereka, terhalang interaksi keduanya.

Rasullulah SAW bersabda, “Tidak halal bagi seseorang memisahkan dua orang, melainkan atas izin mereka berdua.” (HR Abu Daud).

6. Tidakbisik-bisik antara dua jamaah
Rasul SAW bersabda, “Janganlah dua orang saling berbisik-bisik dengan meninggalkan orang ketiga, sebab hal itu dapat membuatnya sedih.” (Muttafaq ‘alaihi).

7. Perbanyak zikir dan tilawah
Sudah lazim di MT zikir dan selawatan serta tadarus bersama. Tradisi ini baik untuk tetap dilestarikan. Sabda Rasul SAW, “Tidaklah sekelompok kaum beranjak dari tempat duduknya yang tidak disebutkan di dalamnya nama Allah, melainkan seakan mereka beranjak dari bangkai keledai dan mereka dalam kerugian,” (HR Abu Daud).

Demikian, semoga dengan adab yang baik, Majelis Taklim kian berkualitas. Baik dari sisi jumlah peserta maupun konten tsaqafah yang mampu diserap jamaah. (kholda – dari berbagai sumber)

Source:
Media Umat, Edisi 256, 23 Rabiul Akhir – 2 Jumadil Awal 1441 H/ 20 Desember 2019 – 2 Januari 2020, hal 25

Selasa, 03 Maret 2020

Begini Cara Belanda Meredam Semangat Jihad


Penjajah di dunia ini selalu membawa kesengsaraan dan penindasan terhadap daerah yang dijajah. Masyarakat pribumi akan dieksploitasi tenaganya dan sumber daya alam di tanah tempat berpihaknya akan dikuras habis. Setelah semuanya hancur barulah kemudian penjajah mencuci tangannya dengan memberikan “kemerdekaan” atau sekadar “otonomi khusus” kepada wilayah tersebut.

Namun dalam perjalanan sejarah, penjajah selalu menghadapi masalah besar ketika berhadapan dengan wilayah-wilayah yang berpenduduk Muslim. Mereka akan mendapatkan perlawanan sengit dari masyarakat pribumi bukan hanya karena ketenangan hidupnya diganggu, namun lebih karena sebuah panggilan suci dari Allah untuk berjihad mempertahankan negerinya dari penjajah.

Penjajah di Amerika Selatan dan Amerika Tengah yang dilakukan Barat bisa dibilang mulus. Mereka melakukan pembantaian besar-besaran terhadap orang Inca, Astec dan juga Indian. Suku-suku tersebut dibantai dengan bengis oleh para penjajah seolah-olah mereka bukanlah ras manusia.

Di Australia, Inggris dengan pongah juga melakukan pembantaian besar-besaran terhadap suku pribumi yaitu suku Aborigin. Di Afrika Selatan, penjajah juga menghilangkan dominasi suku asli yaitu orang-orang negro Afrika yang dipaksa tunduk dalam perbudakan kejam dan mematikan.

Suku-suku tersebut juga tak sanggup menghadapi penjajah bukan karena mereka tidak memiliki senjata. Namun lebih karena tidak memiliki spirit yang cukup untuk melawan penjajah. Spirit seperti itulah yang justru dimiliki oleh kaum Muslimin. Walau tanpa persenjataan yang memadai namun kebulatan tekad dan semangat kaum Muslimin untuk melawan menjadikan penjajah kewalahan dalam menghadapinya.

Meredam Perlawanan
Maka wajar dengan segala cara dilakukan oleh Barat untuk meredam segala bentuk perlawanan pribumi. Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh Cristian Snouck Hurgronje, seorang antropologi Belanda, ahli orientalis, fasih berbahasa Arab dan sangat berwawasan tentang Islam dengan segala seluk beluknya.

Snouck mengelompokkan Islam dalam tiga aspek: (1) ibadah; (2) sosial masyarakat dan (3) Islam politik. Musuh kolonialisme menurut Snouck Hurgronje adalah Islam politik. Karena pemahaman Islam politik inilah yang mampu menggerakkan masyarakat untuk melawan penjajah dengan sebuah predikat jihad fi sabilillah.

Bahkan untuk mengelabui masyarakat Aceh (tempat Snouck bertugas) Belanda direkomendasikan untuk membangun masjid, langgar dan surau dalam jumlah yang cukup masif. Namun di sisi lain Belanda tetap terus melakukan tekanan kepada golongan ulama terutama yang berpaham Islam politik. Ditambah dengan tindakan tegas tanpa kompromi terhadap setiap perlawanan.

Strategi ini cukup jitu membelah masyarakat yang pada awalnya bersatu menjadi berbeda pandangan, sehingga banyak rakyat kecil yang merasa sudah cukup “difasilitasi” oleh Belanda sehingga tidak perlu lagi melakukan perlawanan. Inilah strategi devide et empera dengan politik belah bambunya.

Di bidang pendidikan, Snouck merekomendasikan menggeser posisi pondok pesantren atau pendidikan keislaman yang berkembang pesat pada saat itu dengan pendidikan ala Barat. Terlebih politik etis (balas budi) yang dicanangkan Belanda memang sejalan dengan temuan Snouck.

Pendidikan keislaman di pesantren disadari atau pun tidak, menjadi semacam kawah candradimuka bagi para calon ulama dan cendekiawan. Hal inilah yang sangat ditakuti oleh Belanda karena secara umum setiap perlawanan selalu dimotori oleh ulama maupun cendekiawan. Untuk menggeser posisi pesantren tersebut. Belanda membuat Sekolah Rakyat (SR).

Pada masa awal, SR tidak mendapat sambutan yang antusias dari rakyat. Karena posisi pendidikan keislaman pesantren sangat mengakar kuat di masyarakat Nusantara pada waktu itu. Maka dibuatkanlah “ijazah” bagi orang-orang yang telah berhasil dalam belajar di sekolah-sekolah Belanda. Dengan ijazah tersebut masyarakat diiming-imingi bisa mudah mencari pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik.

Kiblat Pendidikan Berpindah
Lambat namun pasti, kiblat pendidikan masyarakat Nusantara tergantikan dari pesantren, langgar, surau dan masjid menjadi sekolah resmi Belanda. Di sanalah terjadi injeksi pemikiran dan cara hidup serta cara mengurus negara ala Barat diajarkan: nasionalisme, demokrasi, hak asasi manusia, pruralisme dan lain sebagainya.

Memang dari sekian ilmu tersebut pada akhirnya mampu menyadarkan mayoritas masyarakat Nusantara untuk bersatu dan berlepas diri dari penjajahan Belanda, namun para cerdik pandai hasil didikannya tak mampu lepas dari cara pandang Barat dalam mengelola sebuah negara.

Jikalau dilihat dari permukaan keduanya, nasionalisme dan islam politik seperti memiliki misi yang sama, yaitu mengusir penjajah dari Nusantara. Namun akar dan latar belakang perlawanan mereka sangatlah berbeda secara filosofis ideologis. Maka menjadi wajar juga apabila tokoh-tokoh bangsa di masa perjuangan kemerdekaan bisa melebur antara kelompok islam dan nasionalisme.

Dihapus dari Kurikulum
Sudah dapat dipastikan Belanda sangat benci dengan kata-kata “jihad”, “ukhuwah” dan kepemimpinan kaum Muslimin yaitu “khilafah”. Karena dengan khilafah, ukhuwah akan terwujud dan jihad lebih terarah.

Disadari atau pun tidak, pemahaman Islam politik seperti inilah yang telah membangkitkan sekian perlawanan dari rakyat semesta. Perang Aceh, Perang Padri, Perang Jawa dan lain sebagainya. Semua dipimpin oleh ulama yang berpaham islam politik.

Maka menjauhkan masyarakat dengan pemahaman Islam politik adalah satu-satunya cara melanggengkan penjajahan. Caranya tentu saja dengan menghilangkan pembahasannya dalam kurikulum pendidikan ala Barat.

Jadi jihadlah yang selama ini ditakuti oleh penjajah termasuk Belanda, persatuan dan kesatuan (ukhuwah) Islam dalam bingkai khilafahlah yang membuat Belanda tak bernyali. Lantas, mengapa setelah Belanda pergi kita justru mulai mempersalahkannya? Ada apa dengan bangsa ini?

Ular kobra itu adalah jenis ular yang sangat ditakuti oleh manusia maupun binatang. Ditakuti karena dia memiliki bisa yang sangat mematikan yang disuntikan melalui kedua taringnya yang tajam. Lantas bagaimana jadinya jika ular kobra tersebut dicopot taring tajamnya? Memang benar dia tetap memiliki bisa, namun dia tidak memiliki instrument untuk menyuntikkan bisa kepada lawannya. Hasilnya tentu siapa pun orang atau hewan yang tahu kalau dia tidak punya taring, dia akan sangat berani melawan kobra tersebut jika pada masanya tiba.

Taring-taring tajam ular itulah perumpamaan khilafah dan jihad. Jika orang tidak tahu bisa jadi akan tetap takut dengan kaum Muslimin. Namun apa jadinya jika semua tahu termasuk musuh-musuh kita. Mereka tahu kita tak punya insfrastruktur untuk melawan secara mematikan. Karena masyarakat sudah “jauh” dari kata “khilafah” dan “jihad”. Siapa yang rugi?

Sadarlah wahai bangsa Indonesia. Kita telah kehilangan khilafah, jangan lagi ditambah dengan kehilangan jihad. Negeri ini merdeka salah satunya karena jihadnya para syuhada di seluruh penjuru tanah air. Lantas atas alasan apa kita menghapus materi khilafah dan jihad dalam kehidupan anak didik kita? Tidakkah kita ngeri dengan sesuatu yang mengancam di luar sana? Sadarlah sebelum semuanya berkata “terlambat”.

Source:
Media Umat, Edisi 256, 23 Rabiul Akhir – 2 Jumadil Awal 1441 H/ 20 Desember 2019 – 2 Januari 2020, hal 22

Senin, 02 Maret 2020

Doa Menolak Qadha’


“La yaruddu al qadaara illa ad-du’a wa la yazidu fi al-‘umril illa al-birru”
Tidak ada yang bisa menolak qadar kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali kebaikan. (HR Ahmad no. 22386, 22413, 22438; Ibnu Majah no. 90, 4022; Ibnu Hibban no. 872; al-hakim no. 1814; ath-Thabarani di Mu’jam al-Kabir no. 1442; al-Baihaqi di Syu’ab al-Iman no. 9752, Ibnu Aby Syaibah no. 29867).

Hadits ini diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Abiy al-Ja’di dari Tsawban ra. Al-Hakim di dalam al-Mustadrak berkata: “ini adalah hadits yang shahih sanadnya meski keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.”

Sementara itu, ada nas-nas qath’iy dan hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa qadar atau qadha’ itu pasti terjadi, artinya tidak bisa ditolak. Allah SWT berfirman: “wa kana amrullahi qadran maqduran – Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (TQS al-Ahzab [33]:38).

Makna “qadran” di sini yakni perkara yang telah berlangsung penetapannya sejak azali. Dan makna “maqduran” yakni pasti terjadi. Jadi qadran maqduran yakni keputusan yang pasti, yakni pasti terjadinya.

Allah SWT juga menyatakan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an bahwa ajal suatu umat tidak bisa dimajukan atau dimundurkan (lihat QS al-A’raf [7]:34; Yunus [10]:49; al-Hijr [15]:5; an-Nahl [16]:61; al-Mu’minun [23]:43).

Jadi di sini tampak adanya syubhat kontradiksi antara hadits di atas dengan ayat-ayat dan hadits yang menyatakan bahwa qadha’ atau qadar pasti terjadi, artinya tidak bisa ditolak; dan yang menyatakan bahwa ajal tidak bisa dimajukan atau dimundurkan yang artinya umur tidak bisa ditambah atau dikurangi.

Jika ada dalil qath’iy atas suatu masalah yang memberikan hukum tertentu dan ada dalil zhanniy yang sanadnya shahih atas masalah yang sama yang memberi hukum lain yang di dalamnya terdapat syubhat kontradiksi dengan dalil qath’iy, maka dalam kondisi ini dilakukan al-jam’u bayna ad-dalilayn (mempertemukan atau mengkompromikan di antara dua dalil), sebab mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya (i’malu ad-dalilayn awa min ihmali ahadihima).

Jika tidak mungkin dipertemukan atau dimpromikan maka diambil dalil yang qath’iy dan dalil zhannly ditolak secara dirayah sebab sanadnya adalah shaih. Adapun andai sanadnya dhaif maka ditolak karena ke-dhaif-annya itu.

Al-jam’u mungkin dilakukan di sini. Makna lafal itu ada secara hakikat dan secara majaz. Di dalam ushuf, jika hakikat terhalang karena adanya indikasi yang menghalangi makna hakiki, dan di sini adalah dalil-dalil qath’iy tentang al-qadar yang telah disebutkan di atas, maka digunakan makna majaz dan hadits tersebut dipahami menggunakan makna majaz jika hal itu mungkin menurut Bahasa, dan ini mungkin di sini.

Kata al-qadar atau al-qadha’ di dalam hadits tersebut secara majaz maknanya bisa dipahami, “apa yang menjadi akibatnya atau dampaknya.” Dengan ungkapan lain, apa yang disebabkannya melalui hubungan sebab-akibat. Jadi disebutkan sebab padahal yang dimaksud adalah akibat (dzikru as-sabab wa yuradu bihi al-musabab).

Di sini disebutkan al-qadar, padahal yang dimaksud adalah makna majazinya yakni dampaknya atau apa yang dihasilkannya. Pada saatnya, penolakan itu bukan untuk al-qadar atau al-qadha’, melainkan untuk dampaknya. Seorang Mukmin jika terjadi padanya suatu qadar atau qadha’, misalnya sakit, kehilangan anak, hilang harta, rugi perdagangan,…..dsb, maka doa bisa menolak dampak hal itu terhadapnya.

Seorang Mukmin jika berdoa kepada Allah SWT dan memperbanyak doa agar Allah menghalangi keburukan al-qadha’ maka Allah meringankan darinya dampak al-qadha’ itu dan membantunya untuk menanggungnya dan bersabar atasnya, dan berikutnya hidupnya menjadi baik meski terjadi al-qadha’ terhadapnya. Yakni, Allah meringankan al-qadha’ terhadapnya dan meringankan kejadiannya seolah-olah doanya secara majazi telah menolak al-qadha’ itu, yakni Allah SWT membantunya untuk menanggungnya dan bersabar atasnya.

Imam Ibnu Hibban (w. 354 H) di Shaih Ibni Hibban dan imam Abu Muhammad al-Husain al-Baghawly asy-Syafi’iy (w. 516 H) di dalam Syarhu as-Sunnah menyatakan: “Abu Hatim as-Sijistani menyebutkan, bahwa kontinunya seseorang berdoa membuat baik baginya terjadinya al-qadha’, jadi seolah-olah doa menolaknya karena minimnya dia merasakan deritanya dan kebaikan membuat baik hidupnya sehingga seolah-olah ditambah umurnya dengan baiknya kehidupannya,” Wallah a’lam bi ash-shawab.


Source:
Penulis: Yahya
Penerbit: Media Umat, Edisi 256, 23 Rabiul Akhir – 2 Jumadil Awal 1441 H/ 20 Desember 2019 – 2 Januari 2020, hal 30